Kamis, 22 September 2011

KONSEPSI SUMBER DAYA LAHAN

1. Sumberdaya LAHAN dan PENGELOLAANNYA
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah

(i) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat,
(ii) Ekonomis menguntungkan,
(iii) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani,
(iv) Aman lingkungan, dan
(v) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan (Satari, dkk., 1991).
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degrad­asi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pede­saan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebija­kan-kebijakan lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber­daya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga­kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu:
(1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi,
(2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan masyarakat petani,
(3) asistensi teknis melalui program jangka panjang,
(4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan
(5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya.
Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah
(1) Para perencana program harus men­guasai pengetahuan tentang “sistem pertanian ber-kelanjutan” dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan,
(2) Para pelaksana program harus mampu “ber-komunikasi dengan petani” dalam rangka untuk meng-akomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani;
(3) Para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses peruba­han berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan “komitmen jangka panjang”;
(4) Para perencana harus mampu mengidentifikasikan “kebutuhan petani dan alternatif solusinya” yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan
(5) Para perencana harus menge­tahui “sebab-sebab terjadinya permasalahan” pengelolaan lahan dan menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebu-tuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Collison (1982) mengemukakan empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahata­ni konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra “cash resources”. Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunun­gan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu:
(1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan,
(2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan
(3) strategi dan kebija­kan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan.
Dalam kai­tannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah lahan pegu­nungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu :
(1) aksesibilitas,
(2) fragilitas,
(3) marjinalitas,
(4) heterogeni­tas dan diversitas,
(5) suitabilitas ekologis, dan
(6) sejarah meka­nisme adaptasi manusia.
2. Konsepsi Umum tentang Lahan
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Lahan sebagai suatu “sistem” mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).
3. Sistem Sumberdaya Lahan
Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempu- nyai komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam ting­kat kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permu­kaan, proses produksi tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-faktor ini menen­tukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980).
Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985).
Upaya pemanfaatan lahan pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas pengelolaan sumberdaya lahan dalam hal ini pada dasarnya merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada dengan persyaratan bagi ko- moditas pertanian (Sitorus, 1985). Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi kemampuan dan kesesuaian sumberdaya lahan terhadap persyaratan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional, konsepsi tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam konsepsi kualitas lahan yang dapat dievaluasi secara lebih kuanti­tatif dan lebih obyektif (Soemarno, 1990; Janssen, 1991). Hubungan antara kondisi lahan dengan respon tanaman dalam upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat produktivitas lahan (Wood dan Dent, 1983). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil evaluasi ini penting dalam rangka perencanaan dan pengelo­laan sumberdaya lahan (Sys, 1985; Soemarno, 1990).
Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah menggunakan lahan sebagai komponen sistem usahata­ni. Suatu sistem usahatani komoditas pada kenyataannya sangatlah kompleks (subsistem sumberdaya alam, dan subsis­tem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan senan­tiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan sistemik dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usahatani komoditas dalam kerangka pewilayahannya (Dent dan Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan Wright, 1971). Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struk­tur sistem dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap sistem usahatani komoditas di suatu wilayah pengem­bangan (Soemarno, 1988).
4. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dalam bidang perta­nian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya untuk usaha pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat.
Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi. Proses evaluasi lahan pada hakekatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik yang bersifat kualitatif maupun kuan­titatif. Sistem evaluasi lahan dengan komputer (Land Evalua­tion Computer System, LECS) pada dasarnya merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi lahan (Framework for Land Evaluation, FAO, 1976) . Penggunaan fasilitas kom­puter dalam analisis kesesuaian lahan sangat diperlukan karena:
(i) melibatkan banyak data yang meliputi berbagai unit lahan, berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis tanaman pertanian dan tanaman hutan;
(ii) penilaian dilakukan secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat kesesuaian tanaman; dan
(iii) pemodelan diperlukan untuk lebih memahami interaksi yang rumit dalam sistem pertanian (Wood dan Dent, 1983).
5. Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mem­pengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984).
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la­han kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air). Persesuaian syarat agroeko­logis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbul­kan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering-kritis di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut dapat bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedi­mentasi di berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971). Soekardi dan Eswaran (1991) mengemukakan beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berba­gai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk “menggarap” lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya “kesenjangan” yang semakin besar antara intensitas penggu­naan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang memper­tahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu
(1) Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani menge­lola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan;
(2) Petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan
(3) Teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena keterbatasan penguasaan pengeta­huan, teknologi dan kapital (Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan untuk peng­gunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi per­encanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se­dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebalik­nya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum meli­batkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi­mental di lapangan yang sangat ter­gantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987).
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, tekno­logi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-ba­han kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasa­nya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempu­nyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendung­an, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbul­kannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sa­ngat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kon­disi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan bebera­pa macam campur tangan pemerintah untuk mengendali­kan efek eksternalitas, yaitu:
(i) larangan,
(ii) pengarahan,
(iii) kegiatan percontohan,
(iv) pajak atau subsidi,
(v) pengaturan (regulasi),
(vi) denda atau hukuman, dan
(vii) tindakan pengamanan.
Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan de­gradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988).
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pemba­tas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Is­pandi, 1990; dan Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor le­reng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tin­dakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi la­han. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanam­an tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi, 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang yang tampak­nya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa (Nuhar­diya­ti, 1988; Djumali dan Sasa, 1988). Kedua jenis komodi­tas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman (Thamrin, 1990; Soelaiman, 1990). Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum mengana­lisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan lim­pasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memper­hitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifi- kasi adalah ternak (Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990 b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengu­rangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminan­sia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberi­kan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat ber­pengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpul­kan bahwa upaya pengelolaan lahan kering – kritis dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara me­madai . Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990c; dan Rachman, 1990). Tam­paknya para peneliti ini menghada­pi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga in­formasi tentang kesesuaiannya.
6. PRINSIP EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN
Dalam sistem pasar bebas dapat dipahami bahwa aliran uang dari konsumer ke pemilik sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai suatu sistem “voting”, dengan membeli barang dan jasa tertentu pada hakekatnya konsumen menyatakan pola preferensinya untuk mengalo­kasikan penggunaan sumberdayanya. Dalam fenomena ini peranan gaya-gaya pasar dalam menentukan bagaimana sumberdaya lahan digunakan sangat besar.
6.1. Pasar dan Penggunaan Sumberdaya Lahan
Problematik yang akan dibahas dapat diabstraksikan secara ringkas dalam bentuk pertanyaan “mengapa sebidang lahan tertentu digunakan dengan cara yang tertentu?”, atau lebih specifik lagi, “mengapa sebidang lahan digunakan untuk produksi pertanian, dan sebidang lainnya untuk lokasi industri, dan lainnya lagi untuk pusat perkantoran ?” Apa yang sedang kita cari adalah teori umum yang akan menjelaskan perbedaan- perbedaan ini. Walaupun faktor sejarah, pembatasan perencanaan, dan faktor non-ekonomi lainnya, serta mungkin motif-motif dari pengambil keputusan yang terlibat, namun ini semua untuk melandasi gaya-gaya ekonomi sehingga kita perlu memahami suatu teori sederhana untuk menjelaskan pola umum penggunaan lahan. Didekati dari sudut pandang ini ada dua sifat intrinsik dari sumberdaya lahan yang pent­ing, yaitu kualitasnya dan lokasi.
(1). Kualitas Lahan
Kualitas sebidang lahan hanya dapat didefinisikan secara ber­makna dalam hubungannya dengan suatu aktivitas penggunaan tertentu. Dengan mengambil teladan penggunaan pertanian, kualitas lahan untuk menghasilkan tanaman tergantung kepada faktor-faktor seperti iklim, topografi, tipe tanah, dan kesuburan, semuanya ini mempegaruhi pertumbuhan tana­man dan biaya produksi serta panen. Akan tetapi, lahan yang kuali­tasnya tinggi untuk suatu jenis tanaman, seperti jagung, mungkin akan mempunyai kualitas rendah untuk jenis tanaman lain, seperti padi.
Tiga area lahan A, B, dan C yang disajikan dalam Gambar 4.1 (a) mempunyai kualitas yang berbeda untuk menanam jagung. Lahan B, yang kualitasnya medium untuk menanam jagung, memberikan peneri­maan neto yang relatif rendah dibandingkan dengan lahan C yang kualitasnya tinggi. Ada dua alasan untuk hal ini, keduanya ber­pangkal dari fakta bahwa lahan B kurang sesuai daripada lahan C untuk produksi jagung.
Lahan B tidak mempunyai kapasitas ‘ba­waan’ untuk menghasilkan setinggi lahan C; dan kedua, biaya produksi dari lahan B lebih besar. Karena biaya produksi jagung yang ditun­jukkan dalam Gambar 3.1(a) mencakup penghasilan atas investasi dan pengelolaan tetapi tidak mencakup biaya sewa lahan, ukuran peneri­maan neto untuk sebidang lahan menyatakan jumlah maksimum yang akan bersedia dibayar oleh petani untuk menyewa lahan guna mena­nam jagung. Hal ini disebut tawaran harga sewa maksimum atau “ceiling-rent”. Ternyata untuk daerah C, harga sewa maksimum lebih tinggi daripada lahan B, dan umumnya meningkat dengan peningkatan kualitas lahan (Gambar 3.1(b)). Seperti yang pertamakali diungkapkan oleh Ricardson dalam The Principles of Political Economy and Taxation 1817, teori ini menyatakan bahwa lahan dengan kualitas tertinggi, dan dengan harga sewa tert­inggi, akan lebih dahulu digunakan dalam proses produksi.
Lahan yang kualitasnya lebih rendah akan dialokasikan untuk produksi jagung kalau permintaan jagung meningkat. Lahan yang kualitasnya rendah seperti A dalam Gambar 3.1(a), dengan dengan harga sewa nol, adalah marginal untuk menanam jagung. Kita tidak akan meng­harapkan lahan yang kualitasnya lebih rendah dari lahan marjinal untuk dialokasikan guna produksi jagung.
(2). Lokasi lahan
Teori tentang penggunaan lahan semula dikembangkan oleh von Thunen pada pertengahan abad 18, seorang Jerman. Ia mencatat hasil-hasil dari berbagai jenis tanaman dan melengkapinya dengan upaya-upaya yang terlibat dalam pengangkutan produks ini, oleh kuda dan kereta, ke pasar. Dengan mengasumsikan sebuah kota yang terisolir, yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya sama, von Thunen berargumentasi bahwa pola-pola konsentris penggunaan lahan akan terjadi. Lahan di dekat kota akan digunakan digunakan untuk memproduksi tanaman yang hasilnya banyak dan voluminous, seperti kayu dan kentang, sedangkan lahan yang jauh dari pasar akan digunakan untuk memproduksi tanaman ekonomis-tinggi, volumenya kecil, seperti hasil-hasil peternakan.
Untuk melukiskan penalaran penggunaan lahan tersebut, marilah kita perhati­kan dua bentuk penggunaan lahan, yaitu kentang dan rumput perma­nen untuk produksi sapi potong (daging). Kalau tidak ada perbedaan kualitas lahan, maka biaya untuk mengangkut produk ke pasar yang menyebabkan perbedaan harga sewa maksimum bagi setiap aktivitas. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.2, biaya transpor akan tergantung pada volume atau berat produk dan jarak angkut ke pasar. Bagaimana keduannya ini mempengaruhi harga sewa maksimum untuk usahatani kentang ?. Penerimaan per hektar akan sama untuk setiap bidang lahan, karena diasumsikan tidak ada perbedaan kualitas lahan. Dengan alasan yang sama maka biaya produksi kentang juga tidak berubah. Akan tetapi kalau kita memperhatikan lahan yang lokasinya semakin jauh dari pasar, sehingga biaya untuk mengangkut produk satu hektar kentang ke pasar akan meningkat (Gambar 3.2).
sumber daya lahan
sumber daya lahan
  1. Hal ini berarti bahwa sewa maksimum, yang merupakan total pener­imaan dengan biaya produksi dan biaya transpor, akan menurun kalau jarak dari pasar semakin jauh (Gambar 3.3). Serupa dengan itu, sewa maksimum untuk produksi daging akan menurun dengan jarak dari pasar, pada tingkat penurunan yang ditentukan oleh biaya transportasinya (Gambar 3.2). Sewa maksimum untuk dua macam aktivitas penggunaan lahan ini, pada berbagai jarak dari pasar, ditunjukkan di bagian atas Gambar 3.4.
pendapatan biaya dan rent
Lahan di dekat pasar mempunyai harga sewa maksimum yang lebih tinggi untuk kentang daripada untuk daging, yang menyatakan bahwa petani kentang akan bersedia menawar sewa lebih tinggi untuk lahan-lahan dekat pasar daripada produsen daging. Akibatnya, penanaman ken­tang akan menjadi aktivitas penggunaan lahan. Kalau kita perhatikan lahan yang lebih jauh dari pasar, sewa maksimum untuk kentang menu­run dengan laju lebih cepat daripada daging sehingga pada jarak OX, penawaran sewa maksimum untuk kedua aktivitas akan sama. Di luar OX, produksi daging mempunyai sewa maksimum tertinggi dan akan menjadi aktivitas dimana lahan dialokasikan. Pola penggunaan lahan yang diturunkan dari model ini (bagian bawah Gambar 3.4) menunjuk­kan zone penggunaan lahan yang konsentris dapat diharapkan terjadi.
(3). Interaksi Kualitas Lahan dan Lokasinya
Walaupun ada banyak bukti adanya pola penggunaan lahan yang konsentris, namun kemudian ada beberapa alasan yang menyebabkan lenyapnya pola ini. Misalnya karena kota- kota menjadi tidak terisolir, lingkaran pengaruhnya dapat saling tumpang tindih dan mengganggu pola. Juga karena biaya angkutan biasanya tergantung pada aksesibilitas lahan terhadap jalur komunikasi yang baik, asumsi bahwa biaya angkutan meningkat linier dengan jarak dari pasar (Gambar 3.2) tampaknya kurang tepat. Akan tetapi sumber gangguan yang sangat penting berasal dari asumsi kualitas lahan yang homogen, dan menginsafi bahwa perbedaan kualitas lahan dapat menutupi posisi lokasional.
Untuk menelaah interaksi antara kualitas lahan dan lokasi, marilah memperhatikan aktivitas penggunaan lahan lainnya, yaitu ekstraksi kerikil. Beberapa sifat menentukan kualitas dari lokasi kerikil yang potensial, termasuk ukuran besarnya cadangan deposit, kedalaman dan kualitasnya. Karena sifat-sifat ini menentukan upaya yang diperlukan untuk mengambil dan menyeleksi kerikil (mineral tambang), mereka menentukan biaya ekstraksi per ton. Biaya ek­straksi untuk dua lokai, M dan N, ditunjukkan dalam Gambar 3.5. Karena lokasi N kualitasnya lebih tinggi untuk ekstraksi kerikil tambang daripada M, maka ia mempunyai biaya ekstraksi lebih rendah.
Pada sisi lain, karena bijih merupakan komoditi yang volumious, dan lokasi M lebih dekat dengan pasar dari pada lokasi N, maka biaya angkutan dari lokasi M akan lebih rendah. Sekarang misalkan bahwa permintaan bijih tambang sedemikian rupa sehingga tercapai harga P (Gambar 3.5). Karena ini merupakan harga yang dibayarkan pada alamat akhir, maka garis PQ menyatakan permintaan per ton dikurangi biaya angkutan, kalau bijih diekstraks dari jarak yang berbeda-beda dari pasar. Karena biaya ekstraksi di lokasi N berada di bawah garis ini, maka lokasi N lebih menguntung­kan pada tingkat harga P. Harga yang lebih tinggi diperlukan agar supaya ekstraksi bijih di lokasi M dapat menguntungkan.
harga
Karena ekonomi dari ekstraksi bijih ternyata tergantung pada kualitas dan lokasi dari tempat-tempat (site) potensial, dan efeknya terhadap biaya ekstraksi dan biaya transpor, maka kalau teknologi memodifikasi biaya ekstraksi dan biaya transpor ini, kita dapat mengharapkan adanya perubahan secara menyeluruh. Serupa dengan itu, alokasi yang berbeda atas lahan untuk ekstraksi kerikil tampak­nya akan terjadi kalau permintaan akan bentuk lain dari aktivitas penggunaan lahan ikut diperhatikan. Misalnya, kalau kita sekarang bercerita bahwa lokasi N mempunyai kualitas pertanian yang tinggi, sedangkan lokasi M tidak cocok untuk pertanian, ekstraksi bijih hanya akan terjadi di lokasi N kalau sewa maksimum untuk bijih me­lampaui untuk pertanian. Memang, sewa maksimum untuk pertanian di lokasi N mungkin bisa cukup besar untuk lokasi M digunakan bagi ekstraksi kerikil lebih dahulu, kalau permintaan meningkat.
Setelah membahas bagaimana kualiatas lahan dapat mengimbangi kerugian yang diakibatkan oleh posisi lokasi, ini merupakan tahapan pendek dari konsepsi normatif tentang keuntungan komparatif (com­parative advantage). Sebagai bagian dari filosofi perdagangan bebas, idea tentang keuntungan komparatif ialah bahwa setiap bidang lahan dan sumberdaya yang berhubungan dengannya harus digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang paling baik memanfaatkannya. Persya­ratan dari semua yang hidup di suatu area tertentu akan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksinya sendiri dapat dipenuhi dengan jalan perdagangan dengan pihak-pihak yang ada di area lain, yang juga mengalokasikan sumberdayanya untuk aktivitas yang paling sesuai. Karena potensial untuk keuntungan komperatif ternyata meningkat kalau biaya angkutan menurun, maka tidak aneh kalau konsepsi cincin konsentris dari von Thunen telah terbukti tidak berlaku sejak saat ini. Akan tetapi, untuk menyimpulkan dari sini bahwa lokasi meru­pakan faktor yang relatif tidak penting dalam penggunaan lahan secara modern akan keliru karena beberapa hal. Pertama, di banyak negara di dunia, dimana ternak menyediakan sarana angkutan yang utama, maka aksesibilitas dari desa masih tetap determinan utama dari penggunaan lahan. Ke dua, walaupun lokasi tampaknya menjadi faktor yang relatif kurang penting yang menentukan pengggunaan lahan pedesaan di negara-negara industri maju, namun hal ini akan tetap menjadi khusus kalau biaya bahan bakar terus naik.

6.2. Penggunaan Lahan Industri dan Urban
Dalam memilih lokasi bagi industri di kawasan tertentu, perusahaan tentunya telah menolak kawasan-kawasan alterna­tif atas dasar beberapa kriteria, termasuk dampak lingkungannya yang potensial. Dua parame­ter ekonomi yang tampaknya penting dalam menilai alternatif kawasan adalah biaya pengangkutan bahan mentah ke pabrik, dan biaya distribusi produk akhir ke pasar.
Industri berat, seperti besi dan baja, yang memerlukan banyak bahan mentah, terutama batubara, cenderung berlokasi di dekat sumber bahan mentah karena biaya pengangkutan bahan mentah rela­tif mahal (Gambar 3.6(A)). Sebaliknya, bahan mentah yang volumenya besar (air) diperlukan untuk proses ‘brewing’ banyak dijumpai di berbagai tempat, biayanya relatif sama di lokasi yang berbeda-beda. Dalam kasus ini, kalau biaya pendistribusian produk akhir menjadi dominan, maka dapat diharapkan industri bir akan berlokasi di dekat pusat pemukiman (Gambar 3.7 (b)). Kemiripan antara model-model lokasi industri ini dengan model- model industri ekstraksi adalah jelas. Akan tetapi kalau ia digunakan untuk menjelaskan pola-pola penggunaan lahan urban, tentu model ekonomi hancur? Walaupun sudah barang tentu benar bahwa biaya angkutan bahan mentah untuk bank, toko, dan pemukiman tampaknya kurang berpen­garuh terhadap penggunaan lahan urban, namun demikian lokasi sangat penting bagi aktivitas-aktivitas ini dalam arti aksesibilitasnya. Untuk melukiskannya, perhatikanlah dua toko A dan B, yang identik kecuali lokasinya. Karena toko A dekat dengan pusat kota dan oleh karena lebih aksesibel bagi banyak penduduk yang bekerja dan belanja di sana, maka ia secara potensial mempunyai pasar yang lebih besar dari pada B. Ini berarti bahwa permintaan sesuatu barang pada tingkat harga tertentu P, akan lebih tinggi pada toko A(QA) daripada di toko B(QB) (Gambar 3.7), dengan hasil bahwa pener­imaan total di toko A akan lebih besar.
biaya
Walaupun lebih mudah untuk memcisualisasikan pola-pola kon­sentris dari penggunaan lahan urban dari pada pedesaan, gangguan- gangguan terhadap pola masih jelas. Sampai batas-batas tertentu, hal ini mencerminkan perbedaan kualitas lahan. Akan tetapi yang lebih penting ialah fakta bahwa lahan tidak selalu dialokasikan untuk penggunaan yang mempunyai ceiling-rent tertinggi. Ada dua alasan yang melandasi hal ini. Alasan pertama berhubungan dengan keti­dak-sempurnaan pasar, yang muncul sebagai akibat dari imobili­tas lahan; yang berarti bahwa sumberdaya lahan tidak mudah ditrans­fer dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Untuk banyak aktivitas-aktivitas urban, penggunaan lahan sebenarnya tetap dan tidak dapat balik. Alasan ke dua adalah bahwa perintah ikut campur tangan, dengan menyediakan sumberdaya lahan untuk aktivitas-aktivi­tas seperti taman nasional, dan membatasi area dimana aktivitas- aktivitas tertentu dapat dilakukan; misalnya, dalam menciptakan zone bebas populasi.
6.3. Perencanaan Penggunaan Lahan
Kalau pemerintah harus memodifikasi cara-cara dimana sumberdaya lahan dialokasikan, atas dasar apa hal ini dilakukan ? Satu kemung­kinan ialah menggunakan analisis biaya-manfaat. Akan tetapi, kalau kita melihat kembali bab-bab sebelumnya, perencanaan tahap-demi-tahap seperti itu tidak akan memuaskan. Suatu pendekatan yang lebih baik tentunya adalah yang lebih komprehensif, yaitu yang ditemukan dalam teknik analisis Kesesuaian Lahan (LSA). Semula digunakan dalam perencanaan pertanian, tujuan dari LSA adalah untuk menduga kapabili­tas lahan ‘inherent’ guna melaksanakan benbagai macam aktivitas, dan untuk menyatakan bagaimana kapabilitas ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian proses-proses eva-luasi kesesuaian lahan melibatkan tiga fase anali­sis : (i). Menduga persyaratan/kebutuhan aktivitas-aktivitas; (ii). Menentukan kapabilitas sumberdaya lahan yang tersedia; (iii). Memadu­kan kapabilitas sumberdaya lahan dengan kebutuhan masyarakat Untuk menelaah prinsip-prinsip dan potensial LSA, kita mulai dengan suatu teladan pertanian, dan kemudian mempertimbangkan pemak­aiannya secara lebih luas dalam perencanaan penggunaan lahan.
6.4. Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian
Untuk melukiskan penggunaan LSA dalam perencanaan penggunaan lahan pertanian marilah kita kaji hasil studi simulatif berikut ini. Dalam teladan ini, enam penggunaan lahan yang potensial dibahas: pertanaman setahun, pertanaman tahunan (perkebunan), ternak, hutan alam, hutan tanaman indus­tri, rekreasi dan wisata.

(1). Pendugaan Kebutuhan Aktivitas Potensial
Untuk menghimpun data tentang sumberdaya dasar, persyaratan dan toleransi dari enam macam penggunaan yang akan dievaluasi harus ditentukan lebih dahulu. Agar supaya berguna dalam praktek, persyaratan dan toleransi ini harus dinyatakan secara kuantitatif seperti dalam kolom terakhir dari Tabel 1 ini. Misalnya, kalau akan mengevaluasi bahaya erosi tanah, maka diperlukan dua ukuran diagnostik, yaitu kemiringan lahan dan permeabilitas tanah. Hanya lahan-lahan yang kemiringannya kurang dari sudut pembatas dan di atas permeabilitas batas akan memenuhi kriteria bahaya erosi bagi tanaman setahun. Dengan mengulangi pekerjaan ini untuk lima aktivitas lainnya, suatu daftar yang lengkap tentang ukuran diagnostik untuk mengklasifikasikan lahan dapat diperoleh.
(2). Menentukan Kapabilitas sumberdaya Lahan
Lazimnya proses pengklasifikasian dan evaluasi lahan dimulai dengan penggunaan foto udara, untuk mengidentifikasikan area- area yang mempunyai karakteristik fisik yang serupa, yang diikuti dengan analisis darat untuk mengelaborasi klasifikasi dan menduga sifat-sifat diagnostik dari unit-unit lahan yang diidentifikasikan tersebut. Bagaimana mengumpulkan data dalam praktek lapangan sangat tergantung pada diagnostik yang harus di-duga, data yang ada, waktu, tenaga, dana yang terse­dia. Kalau pekerjaan survai telah diselesaikan, maka dapat dilakukan pendugaan kapabilitas dan kesesuaian masing-masing unit lahan bagi setiap aktivitas yang potensial.

(3). Pemaduan Kapabilitas Sumberdaya Lahan dan Kebutuhan Masya­rakat
Walaupun kita telah menggunakan istilah kesesuaian, secara riil ada beberapa kemungkinan produksi dari perspektif ekonomi, tiga problem khusus yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

(a). Kapabilitas aktual versus potensial
Lahan merupakan satu-satunya input bagi aktivitas peng­gunaan lahan. Kemampuan potensial lahan untuk mengha­silkan produk pertanian atau produk lain bukan hanya diukur dengan kapabilitas inherentnya saja tetapi juga oleh input lain baik dalam bentuk upaya reklamasi maupun upaya pengelolaan. Pem-bangunan teras-teras lahan sawah oleh para petani subsisten dan reklamasi lahan industri yang telah rusak untuk keperluan pertanian, merupakan dua teladan yang menyatakan sampai dimana potensial inherent dapat ditransformasikan, sedangkan efek tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi pertanian. Cara untuk memperhitungkan input-input reklamasi dan pengelolaan ialah menduga kapabilitas dari paket reklamasi dan pengelolaan sebagai aktivitas yang terpisah.

(b). Lokasi
Kalau dipandang dari teori ekonomi tentang penggunaan lahan, kita dapat melihat bahwa LSA (Land Suitability Assessment) hanya memperhatikan aspek-aspek kualitas. Kalau sampai kepada pemaduan kesesuaian atau kemampuan (kapabilitas) ini dengan kebutuhan masyarakat, maka juga harus memperhitungkan lokasi. Sebagaimana yang diurai­kan di muka, biaya angkutan dapat mempunyai pengaruh penting terhadap profitabilitas produk pertanian, kayu, dan bahan tambang seperti halnya kesesuaian inherent atau kualitas lahan. Demikian juga, untuk rekreasi alam bebas, waktu atau perjalanan, biaya-biaya yang diperlukan dalam mencapai lokasi-lokasi khusus dapat menutupi kesesuaian­nya. Memang, proksimitas dengan pusat pemukiman meru­pakan atribut utama dari lokasi wisata yang bertumpu kepada pengguna jasa, sedangkan kualitas yang tinggi dari sumberdaya yang bertumpu lokasi, yang menarik pengun­juk dari jarak jauh, membuat lokasi menjadi tidak penting.
Lokasi bahkan dapat menjadi penting untuk konservasi alam. Walaupun lokasi konservasi di daerah urban mungkin mempunyai kualitas yang jelek, ditinjau dari jenis/species atau habitat langka, mereka tampaknya sangat penting untuk maksud-maksud pendidikan, karena dekat dengan sekolahan dan kegiatan pendidikan lainnya. Sebaliknya, lokasi-lokasi yang kualitasnya baik, mengandung species dan habitat langka yang penting secara nasional dan inter­nasional, mungkin hanya cocok untuk maksud-maksud konservasi kalau terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.
(c). Efek Eksternalitas
Sifat ketiga yang perlu dipertimbangkan, dan yang sering­kali berhubungan dengan lokasi, adalah efek eksternal yang diakibatkan oleh penggunaan lahan, terutama dalam menimbulkan polutan. Kita telah membahas bahwa limpasan dari aktivitas pertanian dapat menimbulkan biaya eksternal bagi industri air minum. Efek lain juga dapat timbul kalau sifat-sifat estetika dari bentang-lahan juga terpengaruh. Misalnya, penggunaan lahan yang tidak kompatibel, seperti pertambangan terbuka di Taman Nasion­al, dapat mereduksi kesesuaian dan nilai keseluruhan dari area. Proses-proses ekologi alami, terutama imigrasi, juga dapat menimbulkan biaya eksternal: misalnya migrasi ser­angga hama dan gulma dari habitat alaminya ke lahan pertanian, atau sebaliknya.

Rabu, 21 September 2011

Tak Ada Satupun Negara Islam Yang Tergolong Negara Maju?

Mengapa Tak Ada Satupun Negara Islam Yang Tergolong Negara Maju?. Pertanyaan yang cukup sensitif, terutama bagi kaum Muslimin. Tapi, percayalah bukan cuma saya yang memikirkan hal itu, dan memang inilah kenyataannya. Mari kita lihat peta di bawah ini yang menunjukkan pembagian daerah-daerah negara miskin, berkembang, dan maju (Berdasarkan IMF pada tahun 2008).





Biru Muda:
Negara maju
Orange: Negara Berkembang
Merah Kecoklatan: Negara Miskin

Organisasi seperti Bank Dunia, IMF, dan CIA, biasanya setuju bahwa sekelompok negara maju termasuk:

Anggota Uni Eropa:
Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Britania Raya.

Negara non-UE:
Andorra, Islandia, Liechtenstein, Monako, Norwegia, San Marino, Swiss, Vatikan.

Negara bukan Eropa:
Australia, Kanada, Korea Selatan, Hong Kong, Israel, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Amerika Serikat.







Dari peta diatas, tidak ditemukan satupun negara Islam ataupun negara bermayoritas penduduk Muslim bukan?, justru yang banyak adalah negara Islam yang miskin terutama di daratan Afrika. Perlu diketahui, beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan fosfor dan Brunei Darussalam melalui pengambilan minyak bumi) tanpa mengembangkan industri yang beragam, dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'. Kebanyakan negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, adalah negara kaya tetapi bukan negara maju, kerena Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata.

Hingga saat ini Iran disebut-sebut sebagai negara Islam yang paling maju terutama dalam bidang Sains diantara negara-negara Islam lainnya. Tapi negara inipun masih belum juga diakui sebagai salah satu negara maju (secara keseluruhan), diantara negara-negara lain di dunia. Sedangkan Israel, yang masih dalam kontroversi (karena wilayahnya yang merupakan hasil rampasan dari wilayah Palestina), sudah mendapat pengakuan dan predikat sebagai salah-satu negara maju di dunia.

Sekarang, apakah menjadi negara maju itu harus?. Sebagian besar dari kita pasti menjawab “Ya”. Tapi, coba kita lihat sekali lagi, apakah Islam itu cocok untuk kehidupan masyarakat negara maju seperti Jepang ataupun Amerika Serikat?—Yang notabene adalah negara super power yang saat ini memengang kendali Dunia. Saya rasa “Tidak Terlalu”. Ya, kenapa saya berpendapat demikian?.









Lihatlah kehidupan warga negara Amerika Serikat yang begitu bebas, termasuk untuk perilaku seks bebas (yang menimbulkan HIV-AIDS). Dan saat ini, ada 14 negara bagian di AS yang melegalkan marijuana, yaitu: Alaska, California, Colorado, Hawaii, Maine, Maryland, Michigan, Montana, Nevada, New Mexico, Oregon, Rhode Island, Vermont dan Washington.








Atau kehidupan warga negara Jepang yang dikenal sebagai pekerja keras, memiliki penanganan medis yang sangat baik, dan standar hidup yang tinggi, yang membuat mereka memiliki harapan hidup yang lebih panjang. Tapi, ketahuilah kebanyakan dari mereka hidup penuh tekanan, hal ini dapat dilihat dari predikat Jepang yang merupakan salah-satu negara dengan tingkat kasus bunuh diri paling tinggi di dunia.









Di bawah ini, adalah peta yang menunjukkan pembagian negara-negara berdasarkan jumlah kasus bunuh dirinya:







Rata-rata kasus bunuh diri:
Merah: di atas 13
Kuning: 6.5-13
Biru Tua: kurang dari 6.5
Abu-abu: Tidak ada

Apa gunanya angka harapan hidup yang tinggi, kalau banyak yang bunuh diri karena tekanan hidup yang berlebih?.

Seperti yang kita ketahui, bagi kita umat Islam, bunuh diri ataupun mencoba bunuh diri merupakan salah satu dosa yang paling besar di hadapan Allah Swt. Dan lihatlah negara-negara mayoritas penduduk Islam, di daerah Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika, hampir tidak tercatat adanya kasus bunuh diri disana.

Selain itu, negara-negara maju juga sudah melegalkan perjudian maupun minuman beralkohol di negaranya. Di negara maju yang super sibuk, tentu memiliki jam kerja yang begitu padat hingga larut malam, dan mereka hampir tidak memiliki waktu istirahat (mungkin termasuk untuk Shalat). Bahkan saat ini, di Italia (dan mungkin dinegara-negara maju lainnya), muncul sebuah kebijakan “aneh” yaitu, melarang para pekerja Muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan keseahatan (Larangan tersebut dikeluarkan Komite Keselamatan Kegiatan Pertanian Italia. Mereka mengharuskan pekerja di ladang, termasuk Muslim, untuk tetap makan dan minum selama Ramadhan). Dan bagi mereka yang melanggar, dipecat adalah konsekuensinya.

Alkohol merupakan salah satu penyebab utama tindakan kriminal (Bahkan sudah dijelaskan dalam sebuah kisah Islami, bahwa alkohol bisa membuat seseorang nekad untuk memperkosa dan lalu membunuh). Karena legalitas dari alkohol di negara-negara maju. maka inilah hasilnya:








Lebih lengkapnya lihat di: http://www.nationmaster.com/graph/cri_tot_cri-crime-total-crimes

Secara perhitungan "kasar", negara-negara maju seperti, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan Jepang berada di enam teratas, sebagai negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia (Meskipun tidak semua tindak kriminalitas dinegara-negera maju tersebut merupakan kejahatan yang disebabkan oleh minuman beralkohol). Dan anda tidak akan menemukan negara Islam sampai urutan ke 32 (Turki). Dan hanya beberapa negara Islam yang masuk dalam 82 negara dalam daftar tersebut.

Jadi, apakah kehidupan penduduk di negara maju saat ini, bisa berjalan sesuai syariat Islam?. Mungkin dulu ya, tapi sekarang tidak. Coba bandingkan kehidupan kita dengan orang-orang di barat sana. Mengapa dinegara kita yang masih banyak terdapat orang-orang muslim yang taat beribadah, justru tertinggal dari meraka (orang barat) yang hidup penuh kebebasan dan sangat jauh dari syariat Islam, tapi mereka berhasil mendirikan negara-negara yang maju.

Tapi, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, kejayaan Islam akan bangkit kembali dengan cara yang tidak kita duga-duga.

Namun, “Islam datang pada masa jahiliyah dalam keadaan asing, dan telah datang masanya di mana islam saat ini dirasakan asing oleh pemeluknya. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sesungguhnya Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing” (HR Muslim).

Mungkin saja kita sedang dalam masa kembalinya Islam, siapa tahu? Wallah hu Alam, kiamat semakin dekat bukan?, dan saat itu, sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman alias kaum Muslimin. Berdasarkan hadits-hadits shohih, Nabi Muhammad Saw. Sebelum kiamat terjadi, tanda-tanda besar akan bermunculan, ketika kiamat sudah dekat sekali (seribu tahun mungkin dianggap dekat, mengingat sejarah bumi yang begitu panjang). Maka Allah Swt, akan mendatangkan sebuah angin sejuk yang menyebabkan setiap orang beriman menemui ajalnya saat tersentuh angin tersebut. Sebab Allah Swt, tidak akan mengizinkan kiamat terjadi ketika masih ada kaum beriman di muka bumi walau hanya seorangpun.

Saya samasekali tidak bermaksud, membuat anda berfikir bahwa “Islam merupakan penghalang suatu negara untuk maju di jaman yang modern ini”. Tapi, yang ingin saya tekankan adalah “Apa yang baik di mata manusia belum tentu baik di hadapan Allah Swt.”, dan “Tak mengapa miskin di dunia, asalkan tak miskin di Akhirat”. Bukankah seseorang yang “ndeso”, miskin, berkulit hitam, dan berbibir tebal sekalipun, akan lebih baik di hadapan Allah Swt, ketika ia memiliki keimanan yang teguh kepada-Nya. Daripada seseorang (ilmuwan sekalipun) yang mendapat puja dan puji karena kecerdasannya, kaya raya, modern, atau berpenamplian sangat menarik, tetapi ia tidak percaya akan adanya Tuhan, yaitu Allah Swt. Dan bukan berarti saya menganggap miskin itu lebih baik dan menjadi kaya dan maju itu adalah buruk. Karena miskin dan kaya itu relatif (tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya).